Kamis, 22 Desember 2011

Tanggapan mengenai prinsip-prinsip dalam berbisnis

Tanggapan saya mengenai prinsip-prinsip di atas adalah:
a.       Semangat pelayanan prima yang dilakukan
Pelayanan prima berarti pelayanan yang sangat baik , atau pelayanan yang terbaik. Pelayanan prima merupakan factor kunci keberhasilan dalam perusahaan. Jika bisnis tumbuh dan berkembang dan bisa bertahan dalam persaingan maka keuntungan dan pendapatan juga akan meningkat. Untuk melaksanakan hal tersebut maka kita harus memperbanyak jumlah pelanggan yang kita miliki degan demikian kita harus memelihara dan mempertahankan pelanggan kita seperti halnya mendapatkan pelanggan baru. Pelayanan prima penting bagi perusahaan karena dapat mempertahankan loyalitas pelanggan dan membantu mengamankan masa depan bisnisnya.
Contoh : pelayanan prima dikembangkan berdasarkan prinsip 3 A (Attitude, Attention, dan Action). Attitude misalnya dengan perilaku sopan dan menghargai pelanggan. Attention misalnya mencurahkan perhatian penuh pada pelanggan. Action misalnya mencatat setiap pesanan pelanggan dan kebutuhan para pelanggan.

b.      Semangat fairness
Dalam bisnis yang sukses harus diawali dengan kejujuran serta keadilan. Kejujuran merupakan nilai luhur yang harus dimiliki oleh para pebisnis dalam menjalankan bisnisnya. Sedangkan untuk keadilan akan menciptakan jiwa yang sportif, adil dalam bertindak misalkan etika antara bawahan dengan atasan. Hal ini yang akan membuat perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya dalam menjalankan tugasnya.
Contoh : sikap professional antara sesama rekan kerja.

c.       Semangat harmonis dan kerja sama
Suatu bisnis akan berhasil apabila didalamnya ada hubungan harmonis antara rekan kerja dan kerja sama yang kuat untuk mencapai visi dan misi perusahaan. Pribadi-pribadi yang berkompeten akan bekerja sama dalam membangun perusahaan sehingga visi perusahaan pun akan dapat terwujud. Hubungan harmonis akan dapat berjalan apabila dapat saling menghargai satu sama lain.
Contoh : gathering perusahaan untuk mempererat hubungan antara rekan kerja.

d.      Semangat kerja keras untuk maju
Diperlukan kerja keras untuk mewujudkan impian. Tentunya juga harus didukung dengan susunan kerja yang terencana, agar dapat mencapai goal yang memuaskan dan tepat waktu.
Contoh : kisah Bob sadino yang tidak lulus sekolah berhasil mempunyai bisnis supermarket kem chicks dari hasil kerja kerasnya.

e.      Semangat hormat dan rendah hati
Semangat hormat dan rendah hati harus dilakukan oleh siapa saja dan kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Hal tersebut akan menciptakan hubungan yang harmonis baik sesama rekan kerja atau atasan dan bawahan dan juga meningkatkan semangat kerja sama untuk mencapai visi dan misi perusahaan.

f.        Semangat mengikuti hukum alam
Semangat mengikuti hukum alam harus dilihat secara positif, dengan maksud seseorang yang mempunyai kompetensi yang baik di atas rata-rata akan mendapatkan peluang di perusahaan untuk mendapatkan jabatan yang lebih baik begitupun sebaliknya jika seseorang yang tidak mempunyai kompetensi yang baik akan tersingkir atau mendapat jabatan yang rendah. Hal tersebut memotivasi kita agar dapat bekerja dengan semaksimal mungkin. Persaingan dalam dunia kerja harus dibarengi dengan jiwa yang sportif agar terhindar dari persaingan yang tidak sehat yang dapat merugikan orang lain.
Contoh : pekerja diharapkan selalu membuat improvement agar dapat mengambil peluang yang lebih baik.

g.       Kejujuran adalah pangkal sukses
Dalam berbisnis biasakanlah tanamkan sikap jujur dalam hal apapun, dengan jujur kita akan meraih kesuksesan. Dengan kejujuran pada diri seseorang, maka seseorang tersebut akan melakukan tugas – tugasnya sendiri secara baik dan benar. Dengan kejujuran akan tercipta manusia yang mandiri dalam hidupnya serta terciptanya kepercayaan pihak lain terhadap yang bersangkutan.
Contoh : penggunaan daging yang fresh dan halal di restoran.

h.      Semangat bersyukur
Setelah prinsip – prinsip diatas terlakasana serta usaha – usaha sudah dilakukan dengan optimal, sehingga tercurahkan daya upaya dalam setiap tugas – tugas terselesaikan dengan baik. Kemudian barulah semangat bersyukur atas usaha – usaha yang telah dilakukan sebelumnya agar mendapatkan hasil yang optimal dan memuaskan. Apapun hasilnya adalah hasil kerja keras yang telah individu, kelompok, instansi atau sebuah perusahaan lakukan, jika hasil kerja (output) menghasilkan output yang bagus, secara harfiah haruslah dipertahankan dengan baik serta adanya kompeten yang bersangkutan untuk berinovasi yang lebih baik lagi. Jika sebaliknya tercipta output yang rendah dari hasil kerja yang telah individu, kelompok, instansi atau sebuah perusahaan lakukan, haruslah yang bersangkutan melakukan daya upaya melakukan perbaikan secara menyeluruh sebagai bentuk usaha perbaikan dari hasil kerja sebelumnya. 
Contoh : seorang pedagang yang selalu bersyukur atas pendapatannya yang didapat setiap harinya.

Tanggapan mengenai perihal di bawah ini

“bisnis apapun adalah bagian dari sebuah sistem sosial dan atas dasar itu mempunyai hak dan tanggung jawab kebebasan untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomis dibatasi oleh hukum dan tersalurkan melalui kekuatan pasar bebas, tetapi tuntutan tersebut bersifat minimal karena hanya menuntut agar bisnis menyediakan barang dan jasa yang diinginkan, bersaing secara fair dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain”

Perusahaan mempunyai hak untuk memperoleh keuntungan dari bisnis yang dijalankan, tentunya bukan bisnis yang dilarang oleh pemerintah dan juga Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Yang dimaksud adalah apabila suatu perusahaan menghasilkan suatu produk, perusahaan perlu adanya menjalankan kewajiban – kewajiban serta tanggung jawab sebagai dasar moral dan moriil yang diberikan perusahaan seperti pajak kepada pemerintah, membayar perjanjian kepada perusahaan swasta lainnya, bakti sosial kepada masyarakat, mendirikan fasilitas – fasilitas lainnya yang bermanfaat bagi banyak orang. Hal tersebut dilakukan dalam rangka bentuk kewajiban dan tanggung jawab perusahaan kepada eksternal perusahaan.
Pada dasarnya produk yang akan dipasarkan akan terjadi jika adanya kekuatan pasar, yakni jika ada permintaan pasar maka akan ada pula penawaran pasar dalam suatu tingkat domestik maupun global. Namun biasanya hal tersebut terkendala oleh adanya hukum – hukum yang mengatur pemasaran tersebut. Perusahaan tidak dapat melakukan pemasaran sesuai dengan keinginan perusahaan tetapi perlu diatur oleh pemerintah sebagai adanya campur tangan pemerintah dalam suatu pasar tingkat domestik maupun global. Dengan adanya peraturan – peraturan yang dikeluarkan maka akan tercipta kerjasama tingkat domestik maupun pada tingkat internasional sebagai bentuk saling terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan yang diinginkan di dalam suatu negara satu sama lain. Dengan begitu, akan tercipta pula kerjasama dagang secara global yang terorganisir. Namun disamping itu perlu adanya batasan – batasan / quota barang dan jasa yang boleh diperdagangkan dan tidak boleh diperdagangkan sebagai bentuk keseimbangan di dalam suatu negara, dengan tujuan menyelamatkan perusahaan kecil hingga tingkat besar atas produk – produk mereka. Jika sudah terjalin hubungan kerjasama dagang secara global, haruslah menekankan etika dalam berbisnis dalam setiap kerjasama dagang sebagai regulator tidak adanya kerugian yang ditimbulkan oleh pihak – pihak tertentu yang bisa mengganggu hubungan kerjasama tersebut.

Rabu, 21 Desember 2011

penyimpangan etika bisnis


Etika bisnis tidak terbatas hanya mengetengahkan kaidah-kaidah berbisnis yang baik (standar moral) dalam pengertian transaksi jual beli produk saja. Etika juga menyangkut kaidah yang terkait dengan hubungan manajemen dan karyawan. Apa karakteristik yang lebih rinci dari masalah deviasi etika bisnis seperti itu di dalam perusahaan? Yang paling nyata terlihat adalah terjadinya konflik atasan dan bawahan. Hal ini timbul antara lain akibat ketidakadilan dalam penilaian kinerja, manajemen karir,  manajemen kompensasi, dan sistem pengawasan dan pengembangan SDM yang diskriminatif. Semakin diskriminatif perlakuan manajemen terhadap karyawannya semakin jauh perusahaan menerapkan etika bisnis yang sebenarnya. Pada gilirannya akan menggangu proses dan kinerja bisnis perusahaan. Namun dalam prakteknya pembatasan sesuatu keputusan manajemen itu etis atau tidak selalu menjadi konflik baru. Hal ini karena lemahnya pemahaman tentang apa itu yang disebut etika bisnis, masalah etika, dan lingkup serta pendekatan pemecahannya.
Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor: (1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral, atau nilai terdalam dari manusia, (2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau menjengkelkan, (3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi harus siap dengan citra buruk atau  menarik produk dari pasar namun bakal merugi, dan (4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.
Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan.  Seperti diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam  proses penilaian kinerja, standar penilaian, dan perbedaan persepsi atasan-bawahan tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan, dan loyalitas kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam penseleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan. Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan kemudian keluar dari perusahaan.
Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan kepentingan karyawan secara adil.Untuk memperkecil terjadi penyimpangan penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu  (a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan, dan (b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah pertimbangan keputusan berbasis  kepentingan perusahaan yang lebih besar secara keseluruhan.   

pelanggaran etika bisnis


Prita Mulyasari VS Rumah Sakit OMNI International



Masih hangat berita seputar rani juliani dan manohara pinot, kini kabar berita indonesia sudah digegerkan lagi oleh kasus Prita Mulyasari yang berseteru dengan fihak Rumah Sakit Omni Medical Care International. Dari ketiga kasus beruntun tersebut, semua tokoh utamanya adalah wanita. kenapa wanita begitu melegenda?, kalau melegenda dengan hal-hal yang bersifat positif tentu bukan masalah, tapi akan lain ceritanya jika sebaliknya. Kali ini dialami oleh ibu prita mulya sari yang beberapa hari lalu sempat masuk penjara atas tuntutan pihak Rumah Sakit Omni Medical Care International. prita mulyasari ibu dua orang anak ini, ditahan pada 13 Mei 2009, setelah sebelumnya dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni Medical Care International kepada Polres Tanggerang karena dianggap telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Medical Care Internasional melalui sebuah email yang telah diedarkan di beberapa mailing list.
Akibat menyatakan pendapatnya di milis, ibu prita mulyasasi seorang ibu rumah tangga asal Tangerang ini, harus mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Prita muliasari berstatus tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional di Alam Sutera, Serpong, Tangerang.
Prita Muliasari ditahan sejak 13 Mei 2009, Padahal kasusnya belum dipersidangkan di pengadilan.
Menurut Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara, Prita Mulyasari dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”, dengan ancaman hukuman enam tahun. Inilah yang menjadi alasan pihak kejaksaan menahan ibu Prita Mulyasari,” kata dia.
Menurut Anggara, tak sepantasnya Prita Mulyasari ditahan. “Kami sudah mendesak Kejaksaan Negeri Tangerang untuk menangguhkan atau mengalihkan penahanan Prita Mulya sari demi alasan-alasan kemanusiaan dan hak asasi manusia,” tambah dia. Namun Prita Mulyasari telah dikalahkan dalam gugatan perdata di PN Tangerang dan sedang menunggu proses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri Tangerang yang akan digelar minggu depan dan dipimpin oleh Wakil Ketua PN Tangerang.
Kasus ini bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional pada 7 Agustus 2008. Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care International dan juga dokter yang merawatnya. Menurut Anggara, akibat permintaan rekam medis dan keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik, Prita Mulyasari akhirnya menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik atau email kemudian mengirimkan email tersebut kepada teman-teman dekat Prita, namun belakangan email ini terus menyebar keberbagai milis. Sehingga pihak Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional menganggap prita mulyasari telah merusak citra dan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional.
 Status Tahanan Kota diberikan kepada Ibu Prita Mulyasari
Akhirnya pihak kejaksaan memutuskan untuk memberikan status tahanan kota kepada ibu Prita Mulyasari. Namun meski telah bebas, Prita Mulyasari Mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional ini masih Trauma. “Saya masih trauma,” kata Prita Mulyasari kepada wartawan. Mantan pasien yang sempat mencicipi masuk penjara akhirnya dibebaskan dari Lapas wanita wanita Tangerang, Rabu (3/6). Prita Mulyasari kini hanya menjadi tahanan kota.
Prita Mulyasari dibebaskan dari penjara wanita Tangerang, Rabu (3/6) dan hanya menjadi tahanan kota setelah desakan dari berbagai kalangan terus membanjir. Calon presiden Jusuf Kalla, misalnya meminta kepada polisi membebaskan prita mulyasari. “Saya jaminannya,” kata Kalla.
Kepada wartawan Prita Mulya sari juga mengaku sangat terharu, Dia menangis sesenggukan. Berulang kali tangan Prita mengusap air mata di pipinya. “Sudah dulu ya, saya mau menandatangani berkas dulu,” kata Prita Mulyasari yang sore itu mengenakan baju dan jilbab warna hitam.
“Semoga Allah mengampuni kesalahan saya,” kata Prita Mulyasari lagi tanpa mau menjelaskan kesalahan siapa yang mesti diampuni. Ibu dua anak ini sudah tiga pekan mendekam dalam penjara dan berpisah dengan kedua anaknya itu.
Beberapa hari terakhir dukungan terhadap Prita Mulyasari memang membanjir. Di Facebook sampai Rabu siang, tercatat lebih dari 36 ribu mengutuk penahanan Prita Mulyasari. Megawati Soekarnoputri juga memberi dukungan dengan mengunjungi Prita Mulayasari. Publik melihat polisi dan kejaksaan bertindak terlalu kelewatan. Apalagi, Kejaksaan sengaja memasukkan pasal UU ITE yang dinilai tak pas dengan kasus ini.
Pengacara RS Omni International, Risma Situmorang mengatakan pihaknya keberatan dengan isi e-mail Prita Mulyasari. “Kami keberatan karena di e-mail ada istilah ‘penipuan RS Omni Internasional Alam Sutera,” kata Risma. Semementara itu pengenaan Pasal 27 UU ITE ini pada kasus Prita Mulyasari dianggap Departemen Komunikasi dan Informasi terlalu berlebihan. “Saya terkejut seekstrem itu, padahal UU ITE tidak represif,” ujar Juru Bicara Departemen Komunikasi dan Informasi, Gatot S Dewa Broto mengatakan, seharusnya polisi dan jaksa tidak mengenakan pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari.
“Kalau dia mengirim email ke temannya, kemudian dijerat, itu jelas salah” kata dia, ketika dihubungi, Rabu (3/6). Surat elektronik yang ditulis Prita, kata dia, hanya dikirim kesepuluh temannya. “Itu ranah pribadi, saat dikirim ke mailing list baru masuk ranah publik.” Untuk itu, kata dia, pihak yang dijerat adalah yang meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list. Selain itu, kata dia, untuk proses peradilan penggunaan KUHP dan UU ITE kurang lengkap. Seharusnya juga digunakan UU Telekomunikasi Pasal 40 yang isinya larangan melakukan penyadapan alat telekomunikasi. “Email alat telekomunikasi juga, jadi untuk ambil data harus menggunakan Pasal 42 yang isinya pengambilan data diizinkan untuk penyidikan menggunakan izin tertulis dari Kapolri dan Kejagung, membuka email aturannya sangat ketat” kata dia.

Etika Bisnis di Indonesia


Etika Bisnis di Indonesia

Etika bisnis merupakan cabang dari etika (diterapkan atau profesional) yang berfokus pada aturan etika dan prinsip-prinsip dari sudut pandang komersial. Etika bisnis adalah relevan untuk semua aspek bisnis, perilaku individu dan perilaku organisasi. Berbagai macam kegiatan yang diperiksa untuk memastikan apakah mereka benar atau salah secara etis. 

Etika bisnis adalah bentuk etika terapan yang merupakan bagian dari filsafat.
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan Bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.

Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang pro Etika merupakan filsafat / pemikiran kritis dan rasional mengenal nilai dan norma moral yg menentukan dan terwujud dalam sikap dan pada perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Alasan etika bisnis diperlukan karena para pelaku bisnis dituntut profesional, persaingan semakin tinggi, kepuasan konsumen faktor utama, perusahaan dapat dipercaya dalam jangka panjang, dan mencegah jangan sampai dikenakan sanksi-sanksi pemerintah pada akhirnya mengambil keputusan.

Jumat, 25 November 2011

tugas tulisan ekonomi koperasi kedua "membangun koperasi berbasis anggota dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat"


MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT


Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.

A. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) : 
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.  Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.  Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.  Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit. 
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.  Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.  Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini.  Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis.  Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.  Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi”  atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses.  Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas.  Pola yang tidak hanya  ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.  Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

B. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup. 
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri. 
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi.  Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau  secara ‘bottom-up’.  Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian.  Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri.  Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2.  Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar.  Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya.  Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota.  Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.


3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. 
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain.  Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi.  Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut.  Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4.  Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota.  Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi.  Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.  
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri. 
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota.  Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi.  Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi.  Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis.  Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi.  Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya.  Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini. 
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan.  Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.  
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.  Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital.  Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.  
Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional.  Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya.  Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.


C. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan  koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis).   Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.  Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan.   Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing.  Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya.  Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi.  Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.  
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank.  Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank.  Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).  Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri.  Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.  
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya.  Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya.  Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan.  Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut.  Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.  
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).  Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.  Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.  
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan.  Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.  
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat.  Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.  Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi.  Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya.  Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti.    Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri.  Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.   Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.  
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.  Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri.  Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri.  Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya.   Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.   
D. CATATAN PENUTUP
Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.  Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.

 sumber : Noer sutrisno