Rabu, 21 Desember 2011

pelanggaran etika bisnis


Prita Mulyasari VS Rumah Sakit OMNI International



Masih hangat berita seputar rani juliani dan manohara pinot, kini kabar berita indonesia sudah digegerkan lagi oleh kasus Prita Mulyasari yang berseteru dengan fihak Rumah Sakit Omni Medical Care International. Dari ketiga kasus beruntun tersebut, semua tokoh utamanya adalah wanita. kenapa wanita begitu melegenda?, kalau melegenda dengan hal-hal yang bersifat positif tentu bukan masalah, tapi akan lain ceritanya jika sebaliknya. Kali ini dialami oleh ibu prita mulya sari yang beberapa hari lalu sempat masuk penjara atas tuntutan pihak Rumah Sakit Omni Medical Care International. prita mulyasari ibu dua orang anak ini, ditahan pada 13 Mei 2009, setelah sebelumnya dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni Medical Care International kepada Polres Tanggerang karena dianggap telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Medical Care Internasional melalui sebuah email yang telah diedarkan di beberapa mailing list.
Akibat menyatakan pendapatnya di milis, ibu prita mulyasasi seorang ibu rumah tangga asal Tangerang ini, harus mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Prita muliasari berstatus tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional di Alam Sutera, Serpong, Tangerang.
Prita Muliasari ditahan sejak 13 Mei 2009, Padahal kasusnya belum dipersidangkan di pengadilan.
Menurut Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara, Prita Mulyasari dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”, dengan ancaman hukuman enam tahun. Inilah yang menjadi alasan pihak kejaksaan menahan ibu Prita Mulyasari,” kata dia.
Menurut Anggara, tak sepantasnya Prita Mulyasari ditahan. “Kami sudah mendesak Kejaksaan Negeri Tangerang untuk menangguhkan atau mengalihkan penahanan Prita Mulya sari demi alasan-alasan kemanusiaan dan hak asasi manusia,” tambah dia. Namun Prita Mulyasari telah dikalahkan dalam gugatan perdata di PN Tangerang dan sedang menunggu proses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri Tangerang yang akan digelar minggu depan dan dipimpin oleh Wakil Ketua PN Tangerang.
Kasus ini bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional pada 7 Agustus 2008. Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care International dan juga dokter yang merawatnya. Menurut Anggara, akibat permintaan rekam medis dan keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik, Prita Mulyasari akhirnya menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik atau email kemudian mengirimkan email tersebut kepada teman-teman dekat Prita, namun belakangan email ini terus menyebar keberbagai milis. Sehingga pihak Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional menganggap prita mulyasari telah merusak citra dan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional.
 Status Tahanan Kota diberikan kepada Ibu Prita Mulyasari
Akhirnya pihak kejaksaan memutuskan untuk memberikan status tahanan kota kepada ibu Prita Mulyasari. Namun meski telah bebas, Prita Mulyasari Mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional ini masih Trauma. “Saya masih trauma,” kata Prita Mulyasari kepada wartawan. Mantan pasien yang sempat mencicipi masuk penjara akhirnya dibebaskan dari Lapas wanita wanita Tangerang, Rabu (3/6). Prita Mulyasari kini hanya menjadi tahanan kota.
Prita Mulyasari dibebaskan dari penjara wanita Tangerang, Rabu (3/6) dan hanya menjadi tahanan kota setelah desakan dari berbagai kalangan terus membanjir. Calon presiden Jusuf Kalla, misalnya meminta kepada polisi membebaskan prita mulyasari. “Saya jaminannya,” kata Kalla.
Kepada wartawan Prita Mulya sari juga mengaku sangat terharu, Dia menangis sesenggukan. Berulang kali tangan Prita mengusap air mata di pipinya. “Sudah dulu ya, saya mau menandatangani berkas dulu,” kata Prita Mulyasari yang sore itu mengenakan baju dan jilbab warna hitam.
“Semoga Allah mengampuni kesalahan saya,” kata Prita Mulyasari lagi tanpa mau menjelaskan kesalahan siapa yang mesti diampuni. Ibu dua anak ini sudah tiga pekan mendekam dalam penjara dan berpisah dengan kedua anaknya itu.
Beberapa hari terakhir dukungan terhadap Prita Mulyasari memang membanjir. Di Facebook sampai Rabu siang, tercatat lebih dari 36 ribu mengutuk penahanan Prita Mulyasari. Megawati Soekarnoputri juga memberi dukungan dengan mengunjungi Prita Mulayasari. Publik melihat polisi dan kejaksaan bertindak terlalu kelewatan. Apalagi, Kejaksaan sengaja memasukkan pasal UU ITE yang dinilai tak pas dengan kasus ini.
Pengacara RS Omni International, Risma Situmorang mengatakan pihaknya keberatan dengan isi e-mail Prita Mulyasari. “Kami keberatan karena di e-mail ada istilah ‘penipuan RS Omni Internasional Alam Sutera,” kata Risma. Semementara itu pengenaan Pasal 27 UU ITE ini pada kasus Prita Mulyasari dianggap Departemen Komunikasi dan Informasi terlalu berlebihan. “Saya terkejut seekstrem itu, padahal UU ITE tidak represif,” ujar Juru Bicara Departemen Komunikasi dan Informasi, Gatot S Dewa Broto mengatakan, seharusnya polisi dan jaksa tidak mengenakan pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari.
“Kalau dia mengirim email ke temannya, kemudian dijerat, itu jelas salah” kata dia, ketika dihubungi, Rabu (3/6). Surat elektronik yang ditulis Prita, kata dia, hanya dikirim kesepuluh temannya. “Itu ranah pribadi, saat dikirim ke mailing list baru masuk ranah publik.” Untuk itu, kata dia, pihak yang dijerat adalah yang meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list. Selain itu, kata dia, untuk proses peradilan penggunaan KUHP dan UU ITE kurang lengkap. Seharusnya juga digunakan UU Telekomunikasi Pasal 40 yang isinya larangan melakukan penyadapan alat telekomunikasi. “Email alat telekomunikasi juga, jadi untuk ambil data harus menggunakan Pasal 42 yang isinya pengambilan data diizinkan untuk penyidikan menggunakan izin tertulis dari Kapolri dan Kejagung, membuka email aturannya sangat ketat” kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar