MEMBANGUN
KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
Setelah
melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias
pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam
masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan
yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi
krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat
keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang
strategis pada masa yang akan datang.
A. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi
telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan
intensitasnya berbeda. Setidaknya
terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB,
1999) :
Pertama, koperasi dipandang
sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan
usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa
pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau
kegiatan lain. Pada
tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak
diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat
melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi ini juga terjadi jika
pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk
lembaga lain. Hal ini dapat
dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif
mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk
memperoleh dana dari bank. Juga
dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala
bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang
berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi
lembaga usaha lain. Pada
kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih
baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan
anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan
rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang
lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan
usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang
lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan
Koperasi Kredit.
Ketiga, koperasi menjadi
organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi
faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi
sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk
bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi
perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi,
loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang
ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya
adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui
kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan
ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas,
maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi
organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik
dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas,
ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan
apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan
koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak
melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. Kondisi ini telah menjadi sumber citra
buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih
membutuhkan layanan usaha koperasi. Alasan
utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian
koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining
positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama
ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan
sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan
lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu
(yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas
yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi,
sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama
ini. Namun alasan lain yang
sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti
alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan
sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi
tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta
masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola
hubungan koperasi dan anggota di KUD. Akibatnya
sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai
“koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi
entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak
jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak,
anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa
pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi
memang membutuhkan proses. Namun
jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan
anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar
motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi
yang kemudian berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian
akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Hal
ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD
dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan
peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.
B. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan
pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang
terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi
sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor
fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat.
Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis
dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah
tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat
kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang
sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya,
atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan
koperasi. Kesadaran ini
akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Faktor kuncinya adalah kesadaran
kolektif dan kemandirian. Dengan
demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri
mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlakukan
sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2.
Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi
untuk berorganisasi.
Koperasi pada
dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip
dasar. Wujud praktisnya,
termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan
anggotanya. Dengan demikian
format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan
sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk
kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan
anggota. Pengalaman
pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan
ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD
yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai
dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan
kegiatannya.
3. Keberadaan
koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai
koperasi.
Faktor pembeda
koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat
nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara
sadar dalam organisasi lain. Oleh
sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi,
partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada
masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi.
Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor
penentu keberhasilan koperasi. Sehingga
salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika
nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam
kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut
tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan
yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui
pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan
aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan
(enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan
pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu
keberadaan koperasi.
4.
Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan
masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal
keanggotaan koperasi.
Hal ini secara
khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan
kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak
menjadi anggota. Jika
terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima
anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif
untuk menjadi anggota koperasi. Pada
gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas
anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi
itu sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu
mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes
(flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi
pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang
sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya
transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya
transaksi non-koperasi, dan
e. mampu
mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota
sendiri.
Kegiatan
usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait
dengan kepentingan anggota. Salah
satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha
anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi
tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat
diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota
koperasi.
Biaya
transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan
kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa
koperasi. Hal ini akan
menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang
memberikan manfaat bisnis. Jika
biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan
koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan
lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu
koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam
sistem koperasi. Pengalaman
sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya
lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem”
koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi
dan anggotanya. Hal ini
memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai
akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat
ini.
Jika
koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha
koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar
yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha
anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada
berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan
usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat
ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik
masyarakat atau anggotanya.
Jika dilihat
dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan
bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan
bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan
ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah
masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan
kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan
komunitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya
koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih
sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem
pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan
berorientasi kapital. Dengan
perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua
bentuk komunitas.
Sebagai bagian
dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari
bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan
pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam
pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai
faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai
faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti
pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh
kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
C. MENGEMBANGKAN
KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam
kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka
mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi
dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha
(bisnis). Bahkan
peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran
lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isyu strategis pengembangan usaha
koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi
dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha
sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu
menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi
terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu
dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah
kerjanya masing-masing. Pada
koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan
usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian
Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru
kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi
pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT
(Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi
mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini
pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan
kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi
dengan bank. Sifat badan
usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian
(compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat
kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima
layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal
yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan
lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum
koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping
itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang
tentang koperasi sendiri. Hal
ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan,
perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis
usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di
Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke
Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang
tepat, dan sebagainya. Koperasi
tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada
siapa harus bertanya. Hal
yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari
informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya.
Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi,
dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi
berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha
kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk
koperasi.
Beberapa pengusaha kecil
jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku
(ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih
harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku
tersebut. Mereka ingin
berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh
pemerintah. Hal yang sama
juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan
baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang
sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran
bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan
memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha
tersebut. Kasus serupa
cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar
koperasi.
Konsentrasi pengembangan
usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu
perusahaan (badan usaha). Tantangan
untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya
dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha
antar koperasi. Hal ini
juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak
peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara
individual. Jaringan
kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan
organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara
primer dan sekunder. Perlu
pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang
dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha
koperasi dan kerjasama antar koperasi. Mengenai
hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang
bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan
bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi
pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran,
dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah
cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut,
namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan
kebutuhan. Pendampingan
dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan
dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat
dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi
belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang
tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi
banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan,
tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit
kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur
tangan pemerintah, dan sebagainya. Di
media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada
berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak
dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi
diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada
gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun
perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan
citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan
mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari
peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai
hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’
demikan. Memperbaiki
dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang
harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki
asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya,
bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan
meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat
dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan,
bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga
yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal
(primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat
menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu
sendiri. Kelembagaan yang
diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai
tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru
berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan
gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan
kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya
perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.
D. CATATAN PENUTUP
Beberapa
pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua
prasyarat. Pertama,
pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan
kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan
pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya
untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini proses pendidikan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat
menentukan. Kedua,
diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman
lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas
memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat. Dengan demikian strategi pengembangan
yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif. Hal ini akan membutuhkan perubahan
pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini
diterapkan. Rekonsptualisasi
sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling
menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.